JAKARTA - Kehidupan di perkotaan sedemikian beragam dan keras, termasuk di kawasan pemukiman. Salah satu persoalan utama yang muncul pastilah masalah sampah rumah tangga yang menjadi beban lingkungan karena tidak semua terserap oleh petugas kebersihan kota. Apalagi jika hujan datang, sampah menjadi salah satu faktor penyebab banjir.
Namun kini masyarakat perkotaan punya solusi untuk mengatasi sampah. Salah satunya dengan membangun bank sampah di setiap lingkungan setingkat kelurahan. Model ini mulai berkembang dan tumbuh di berbagai sudut kota Jakarta. Di Kelurahan Kebon Manggis, Matraman, tepatnya di RW 01 tumbuhlah Bank Sampah Marsella.
Ketua RW 01 Heru Arsyad menceritakan, bank sampah ini berawal dari tim Mandiri Daya Insani (MDI) Bandung yang mengunjungi RW 01 Kelurahan Kebon Manggis. Rencana semula, MDI hendak mengusulkan program penghijauan. Namun setelah ditinjau dan dikaji, berubah menjadi bank sampah, karena hal itu yang dibutuhkan oleh warga. Sementara penghijauan dialihkan ke RW yang lain.
Heru bersyukur Bank Sampah Marsella dapat mengurangi volume sampah, terutama sampah kering. Namun yang lebih penting lagi, para ibu jadi memiliki aktivitas lain yang bernilai ekonomis. Setiap Sabtu, mereka menyetorkan sampah kering, seperti gelas dan botol plastik, serta kardus. Mereka mendapat buku tabungan yang hasilnya bisa diambil beberapa bulan kemudian, atau sesuai kebutuhan.
Ketua Bank Sampah Marsella Ida Farida memberikan gambaran bagaimana sistem kerja bank sampah. Pertama, mencari nasabah yang mau menyetorkan sampah keringnya ke Bank Sampah Marsella. Lebih diutamakan sampah kering, karena Marsella masih baru dan belum punya alat dan lahan untuk mengolah sampah basah.
Dengan nasabah sekitar 105 rumah tangga yang menyetorkan sampah kering, mereka melakukan penimbangan dan dicatat dalam buku tabungan sampah.
“Di sini pengertian yang utama adalah sampah tidak kita beli. Jadi, mereka menyetorkan sampah itu adalah menabung,” kata Ida. Buku tabungan itu dibuka setiap tiga bulan, dan hasilnya dibagi bersama. Sampah yang terkumpul sebagian dijual, sebagian lagi didaur ulang menjadi produk kerajinan tangan. Pada prinsipnya, demikian Ida menegaskan, semua sampah bisa didaur ulang. “Setiap tiga bulan, kalau ada keuntungan, maka kita bagi hasilnya, Kalau tidak ada, ya tidak apa-apa, karena ini kerja sosial,” ujarnya.
Ida mengakui realisasi bank sampah di Kebon Manggis ini tidaklah mulus. Ada pro dan kontra, apalagi di daerah itu banyak terdapat pemulung. ”Jadi kami juga punya saingan, pemulung itu. Makanya kami memberi harga lebih tinggi dari mereka, supaya warga tertarik ke sini,” tuturnya.
Ida berharap bank sampah yang dikelolanya bisa maju dan bisa memberikan keuntungan bagi nasabahnya. Setidaknya, membuka lapangan kerja dan memelihara lingkungan untuk selalu bersih. Jika ada keuntungan, maka nasabahnya pun senang mendapatkan hasil.•URIP