“Cintailah Tanaman. Dia akan bertasbih mendoakanmu,” kata Haji Ali Mansyur. Hidupnya berkecukupan setelah berpuluh tahun merawat Mangrove. Menginspirasi pelestarian lingkungan di kawasan pesisir.
Dia lebih senang berkaos dan bersarung. Kakinya lebih sering telanjang dibandingkan dibungkus sepatu atau sandal. Sepatu hanya dikenakan di sekolah. Itu pun saat mengajar - profesi yang dilakoninya sejak puluhan tahun lalu.
Selama ini, lelaki itu lebih sering wira-wiri memakai motor yang menurutnya lebih praktis. Sesekali, ia juga masih berkeliling desa dengan sepeda ontel tuanya, memungut bibit mangrove untuk memagari pesisir pantai dari hantaman ombak.
Haji Ali Mansyur begitu orang sering menyapanya. Pengabdi lingkungan yang berpuluh tahun membaui mangrove demi penyelamatan pesisir. Autodidak sejati yang sangat mempercayai kearifan alam.
Dia berhasil mengubah desanya. Yang tadinya miskin, menjadi di atas desa lain, baik ekonomi maupun sumber daya manusia. “Kesenjangan terlalu lebar”,ujar Ali Mansyur. Tanah di desa hanya dimiliki oleh segelintir orang. Satu orang bisa memiliki 500-an hektar, sementara lima ratus orang satu meter pun tidak punya.
Kemiskinan pula yang menyebabkannya menghentikan pendidikan SD sampai empat tahun, yang kemudian disambung kembali setelah ada biaya. Putus sambung ini berlanjut di jenjang berikutnya. Alhasil, Mansyur baru bisa mengikuti pendidikan SMA pada umur 25 tahun, sampai akhirnya berhasil meraih sarjana Tarbiyah.
Pahit getir mengakses pendidikan, merangsangnya untuk aktif di bidang pendidikan di pondok pesantren Manbail Futhu sehingga disegani sampai sekarang. Suasana serba kekurangan tak membuatnya harus mengadu nasib di tempat lain, namun menyemangatinya untuk mengembangkan desa kelahirannya.
Alam membuka jalan mewujudkan tekad tersebut. Mulai 1970, pantai yang berbatasan dengan desa mulai terkikis abrasi. Sedikit demi sedikit air laut mendekat. Sampai akhirnya pada 1974, rob besar menghantam desanya. Jarak rumah yang tadinya 300 an meter ke pantai hanya tinggal beberapa meter saja. Kejadian itu mengggugah Ali Mansyur menapaktilasi jejak banjir dengan menanami mangrove. “Banyak yang menyebut saya gila, tak ada kerjaan”, ujarnya.
Ali Mansyur berkeliling dengan sepeda ontel memungut bibit dari desa-desa lain. Bibit itu kemudian ditanamkan pada bibir pantai. Begitu terus dilakukan selama bertahun-tahun. Dia merawat bayi-bayi mangrove itu dengan tekun dan telaten. Satu persatu mulai tumbuh.
Mangrove yang tadinya susah tumbuh di Jenu ternyata bisa rindang di tangan dingin Ali Mansyur. Tetangga-tetangganya belum bergerak karena dianggapnya pekerjaan sia-sia. Baru 20 tahun kemudian setelah melihat keberhasilan Mansyur merindangkan pantai, mereka mengikuti. Ada sekitar 18 orang yang aktif melakukan penanaman. Mereka bekerja tanpa pamrih, tidak ada yang melirik untuk mengulurkan bantuan termasuk pemerintah.
Perhatian mulai didapat pada 1997. Mereka dikirim mengikuti pelatihan. Untuk keperluan administrasi, Ali Mansyur dan kawan-kawan membentuk kelompok Tani Wana Bahari. Setelah pelatihan, mereka diberi order pengadaan 50 ribu bibit. Ada 12 anggota kelompok yang terlibat dalam pengerjaan tersebut, gajinya Rp 6.000 perhari. Mereka sepakat untuk memakai uang tersebut sebagai modal kelompok, antara lain dipakai untuk membangun sekretariat atau gubuk nyaman tempat pertemuan yang dipertahankan sampai sekarang.
Dari Wana Bahari, kegiatan pemberdayaan mangrove berkembang, hingga lahir Yayasan Mangrove Center. Lembaga inilah sekarang yang secara resmi mengelola Mangrove Center Tuban yang luasnya mencapai 54 hektar, 32 hektarnya merupakan milik Mansyur.
Ali Mansyur dengan Mangrove Center, tak ubahnya menjadi penjaga lingkungan Tuban. Karena itu, PT Pertamina melaui anak perusahaannya Pertamina EP. Khususnya di wilayah Aset 4 Field Cepu, bekerjasama dengan Mangrove Center Tuban, menanam 15.000 mangrove dan 5.000 cemara laut. Kerjasama tersebut menjadi wujud kepedulian Pertamina terhadap pelestarian lingkungan pesisir pantai Tuban dan mendukung pelestarian yang dilakukan oleh pejuang lingkungan hidup, seperti Ali Mansyur.
Cita-cita Ali Mansyur untuk memberdayakan masyarakat sudah tercapai. Mangrove Center membuka lapangan kerja baru kepada warga desa disitu. Ada sekitar 59 pekerja yang digaji diatas UMR. Selain itu warga juga bisa berjualan, mencukupi kebutuhan pengunjung yang datang untuk berkemah. Kalau sedang musim liburan tempat tersebut disesaki ribuan orang. Mereka tak dikutip bayaran, hanya mengganti listrik yang nilainya ala kadarnya.
Mangrove Center juga membuka diri untuk tempat pelatihan budidaya Mangrove dan cemara laut. Tergerak membuat pelatihan dan menjadi lembaga yang paling aktif melkaukan kegiatan penyelamatan lingkungan, kini lembaga tersebut sudah beranak-pinak di berbagai tempat.
Bagi Ali Mansyur, mangrove adalah pembuka rezeki. “Saya bersyukur, setelah menanam itu rezeki selalu ada,”ujar Mansyur. Dengan sedikit filosofis, ia menjelaskan tanaman-tanaman peliharaannya itu bertasbih mendoakan dirinya.
Ali Mansyur terus merangkai mimpi-mimpinya untuk menjadikan Mangrove Center Tuban sebagai tempat belajar limgkungan dan kehutanan, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat. “Saya nanti akan bangun menara untuk melihat burung. Bisa motret dari situ nanti,” kata Mansyur.
Sekitar 15 hektar dari seluruh lahan Mangrove Center diajangkan untuk keanekaragaman hayati. Tak hanya Mangrove, dsitu juga ditanam pohon jenis lain, seperti cemara, mahoni dan lain-lain. Burung laut, seperti camar dan burung sawah, belekok, menjadikan itu sebagai tempat tinggalnya. Jika hari berganti petang, rombongan burung satu persatu hinggap di pucuk pohon saat senja, hamparan putih yang bertengger di puncak berkilatan. Sungguh pemandangan yang eksotis.
Di tengah usianya yang terus merembet Ali Mansyur tak ingin berhenti. Dia terus berlari, menggenapkan asanya, untuk terus berguna bagi orang lain. Seperti yang selalu diingatkan guru ngajinya saat kecil dulu, “Sebaik-baiknya manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain,”tutur peraih Kalpataru tahun 2012 ini.