JAKARTA – Bencana alam merupakan peristiwa yang berada di luar kendali manusia. Bagi Pertamina, jika salah satu lokasi fasilitas produksi migas atau panas bumi tertimpa bencana, bisa dibayangkan berapa besar kerugian yang harus diderita.
Sejatinya dalam dunia bisnis, peristiwa bencana alam tersebut bisa dimitigasi dari awal, sehingga kerugian yang terjadi dapat diminimalkan, atau bahkan dihindari. “Untuk itu diperlukan satu pedoman yang dapat mengidentifikasi risiko bencana sedini mungkin, sehingga dapat dilakukan mitigasi sebaik-baiknya,” jelas Ruslan Gautama Suganda, Advisor Process & Facility III, Upstream Technical Center (UTC).
Menurut Ruslan, dalam bisnis migas dan panas bumi, serangkaian peristiwa alam yang disebabkan oleh kondisi geologi atau proses-proses geodinamik, yang membutuhkan penanganan serius karena dapat berkembang menjadi bencana alam (geo-disaster) yang dapat menimbulkan kerugian material, psikologis, sosial dan lingkungan, bahkan sampai korban jiwa, dikenal dengan istilah geohazard.
Contoh-contoh geohazard, di antaranya faulting, Ground-motion, dan Liquefaction. “Faulting adalah patahan di permukaan tanah yang mempunyai potensi bergerak, baik yang telah lampau maupun yang akan terjadi dan menyebabkan deformasi, dislokasi yang signifikan. Ground-motion merupakan gelombang atau getaran yang bergerak di permukaan dan/atau di dalam tanah, disebabkan oleh adanya sumber energi. Sedangkan Liquefaction, fenomena perilaku tanah yang jenuh air atau sebagian jenuh, yang secara substansial kehilangan kekuatan dan kekakuan akibat adanya tegangan,” paparnya.
Masih banyak peristiwa geohazard lainnya yang perlu diwaspadai, misalnya tsunami, tanah longsor, banjir bandang, gunungan lumpur (mud volcano), subsidence, hujan abu, aliran lahar, awan panas, dan gas beracun.
“Karena itulah, diperlukan pedoman geohazard yang fokus pada pembahasan bahaya yang disebabkan peristiwa alam (geohazard) dan dapat berkembang menjadi bencana alam (geo-disaster),” ucap Ruslan yang juga Koordinator Tim Kerja Penyusunan Pedoman Geohazard Direktorat Hulu Pertamina.
Ruslan menjelaskan, konsep pengelolan risiko geohazard terdiri atas: (1) Penilaian risiko (risk assessment) dan (2) Pengurangan risiko (risk reduction). Kedua komponen pengelolaan risiko tersebut perlu didukung oleh risk governance/risk communication dan risk monitoring & updating. Tujuan utama pengelolaan risiko adalah untuk lebih menjamin keselamatan manusia dan mengamankan investasi.
Keberhasilan proyek investasi dalam mencapai target on time, on budget, on scope, dan on revenue sangat ditentukan oleh tingkat kematangan dalam perencanaan desain, termasuk di dalamnya studi geohazard.
“Suatu kajian geohazard yang komprehensif diharapkan dapat memitigasi seluruh risiko yang teridentifikasi sehingga menunjang keberhasilan proyek. Faktor gangguan terkait dengan geohazard yang tidak terprediksi selama pelaksanan proyek, harus dipastikan tidak akan terjadi, sehingga pelaksanaan proyek dapat mencapai hasil yang optimal,” imbuh Ruslan.
Di Pertamina, Pedoman Pengelolaan Geohazard ini menjadi bagian dari Pertamina Upstrean Development Way (PUDW), dan berada di setiap tahap PUDW sehingga seluruh anak perusahaan hulu wajib untuk mengimplementasikannya. “Pedoman yang telah diberlakukan sejak 2015 ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teknis-ekonomis dan keamanan kerja bagi seluruh anak perusahaan lingkup hulu Pertamina,” pungkas Ruslan.•Dit. HULU