JAKARTA – PT Pertamina (Persero) tengah mempersiapkan langkah-langkah strategis untuk mendukung program pemerintah dalam meningkatkan penggunaan gas bumi dari saat ini 286 juta barel setara minyak (MBOE) menjadi 628 MBOE atau naik 120% pada 2025 di mana sektor ketenagalistrikan dan industri menjadi kunci pertumbuhan permintaan.
Direktur Energi Baru Terbarukan PT Pertamina (Persero) Yenni Andayani dalam acara Asian Oil and Gas Conference yang berlangsung di Kuala Lumpur Malaysia, (19/05) dalam paparannya mengatakan Pertamina dapat berperan penting dalam mewujudkan target bauran energi yang dicanangkan pemerintah. Menurut dia, bauran energi nasional memerlukan upaya nyata dan terarah, karena tantangan yang dihadapi cukup berat, seperti volatilitas harga minyak dunia, risiko nilai tukar, disparitas harga gas domestik dan LNG dunia, kompleksitas pembebasan lahan untuk infrastruktur di sisi lain pembangunan infrastruktur gas sangat mendesak, dan belum sepenuhnya penerapan open access untuk efisiensi penggunaan infrastruktur.
Menteri ESDM Sudirman Said dalam Indonesia Oil and Gas Development Plan baru-baru ini mengungkapkan pemerintah menargetkan pada tahun 2025 penggunaan minyak berkurang dari 44,67% menjadi 25% dari total kebutuhan energi nasional sekitar 2.857 MBOE. Adapun, kebutuhan gas akan meningkat dari 286 MBOE menjadi 628 MBOE atau meningkat sekitar 120%, di mana 65% di antaranya akan diserap oleh pembangkit listrik.
Seperti diketahui, PLN sedang mengembangkan pembangkit listrik untuk mensuplai kebutuhan listrik sebesar 35 GW pada tahun 2019, dan 36% dari pembangkit listrik tersebut memanfaatkan gas sebagai bahan bakar. Beberapa diantaranya yang sedang berjalan adalah 0,6 GW pembangkit listrik di Arun dan Batanghari di wilayah Sumatra, Pesanggrahan, Bali dan Bangkanai di Kalimantan.
Untuk mengatasi tantangan dalam mencapai target pemerintah tersebut, Pertamina telah menyiapkan beberapa langkah strategis, baik dari sisi pengelolaan permintaan, pasokan, harga, maupun pengembangan infrastruktur. Untuk menjaga permintaan di tengah sensitivitas konsumen terhadap harga, blending antara gas domestik yang relatif lebih murah dengan LNG dapat menjadikan harga lebih atraktif dibandingkan opsi bahan bakar lainnya, di mana harga nantinya dapat ditetapkan bervariasi berdasarkan segmentasi atas daya beli, karakter industri, volume, dan contract term.
Di sisi lain, Pertamina dapat berperan sebagai aggregator yang dengan kemampuannya mengelola pasokan gas melalui penguasaan portfolio bisnis gas di dalam dan luar negeri, dari hulu ke hilir (gas pipa dan LNG) secara terintegrasi. Selanjutnya, untuk optimalisasi pemanfaatan infrastruktur Pertamina dapat bersinergi dengan BUMN dan pelaku pasar lainnya untuk memastikan pemanfaatan infrastruktur yang ada secara efisien, di antaranya dengan jalan open access.
“Dengan kemampuan dan reputasi yang dimiliki, Pertamina sesungguhnya telah dapat berperan sebagai aggregator gas secara alamiah di Indonesia yang dapat menjalankan fungsi strategisnya dalam upaya pemenuhan kebutuhan gas nasional, dengan sektor ketenagalistrikan dan industri sebagai kunci pertumbuhan permintaan gas di masa mendatang,” tutup Yenni, Chairwoman Indonesian Gas Society yang juga duduk sebagai International Gas Union (IGU) Executive Committee Periode 2015-2018 ini.